Salam hormat dan rahayu.
Majalah Suara Kebatinan, jilid II 1961, asalnya daripada penulisan Prof. Mohammad Muhsin Jayadiguna (Harian Kedaulatan Rakyat, Jogjakarta: 7 Dis. 1960); antara penulisannya menyentuh aliran-aliran kebatinan yang dianuti oleh kebanyakan penduduk Jawa. Antara penulisannya menyentuh:
"Para pemimpin ulama kebanyakannya kurang memperhatikan tentang soal kebatinan dan tidak bersedia ke arah merumuskan prinsip-prinsip ideologinya dalam beberapa prinsip yang sederhana tetapi merupakan prinsip-prinsip asas, yang mudah dipergunakan sebagai pegangan teras bagi seseorang insan. Justeru ia harus menentukan personalitinya, penuturannya terhadap sesama manusia dan Tuhan dalam menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan yang diketemui dalam kehidupan seharian".
Pendapat Prof. M.M. Jayadiguna berkisar pada umumnya, berkaitan pegangan dan kepercayaan seluruh penduduk di Tanah Jawa. Kebanyakan para ulama lampau dan rakyat Jawa mempelajari selok belok agama melalui pesantren-pesantren yang kebanyakannya kitab-kitab dikarang orang sejak dua atau tiga abad yang lalu. Isinya banyak yang hanya merupakan pelajaran bahasa Arab, rukun-rukun fiqih atau kepercayaan dengan method yang usang.
Dengan pengajaran atau method yang usang itu, jiwa Islam tidak dapat mereka rasakan, apatah lagi menghayatinya. Yang mereka rasakan hanya merupakan formalitas semata-mata. Banyak diantaranya merupakan ilmu ghaib, ada yang ilmu sesat, tahyul, dan terima seadanya tanpa kritis. Justeru kebanyakan mereke gunakan agama sebagai senjata untuk mendapat kedudukan atau status dalam masyarakat. Mereka tidak segan silu mempergunakan kepercayaan rakyat untuk mengukuhkan kedudukan dan memonopoli kekayaan semata-mata untuk kepentingan sendiri.
Mengenai la vie interieuri (hidup dalam keruhanian) tidak pula kebanyakan mereka utamakan. Dalam literatur Jawa, sering terdapat gambaran tentang para ulama gadungan. Antara contoh, dari kitab Wedotomo, tembang Sinom:
Garonge pada kopyahan
Saben sore lunga ngaji
Salendang sajadah anyar
Bakyake teklak teklik
ndedonga karo nangis
mrih leburing dosanipun
Yen dalu salat hajat
Tobat nasuka ranipun
analongsa nyuwun pangapuring suksma
bermaksud:
Garongnya memakai kopiah
tiap sore pergi ngaji
memakai selendang sajadah baru
banyaknya berbunyi teklak teklik
berdoa serta menangis
agar dosanya lebur
diwaktu malam sembahyang hajat
iaitu yang dinamakan Taubat Nasuha
merintih minta ampun daripada Tuhan.
Akan tetapi rupanya hal yang semacam atau seperkara ini bukan saja terjadi pada mereka yang memakai kopiah, malah mereka yang lain yang terdiri dari pelbagai pangkat dan gelaran, serta kebanyakan rakyat.